Sejarah Tanah Bumbu
- Daerah Kabupaten Tanah Bumbu termasuk dalam kawasan Tanah Bumbu yang
lebih luas atau wilayah Kalimantan Tenggara. Sejak dahulu kala wilayah
tenggara pulau Kalimantan bukanlah daerah tidak bertuan karena daerah
ini juga sudah dihuni oleh penduduk asli Kalimantan, menurut Hikayat
Banjar penduduknya terdiri orang Satui, orang Laut Pulau, orang Pamukan (Dayak Samihim) dan orang Paser
maupun orang-orang Dayak Bukit yang tinggal di pegunungan Meratus.
Orang Pamukan dan orang Paser masing-masing memiliki pemerintahan
kerajaan sendiri-sendiri. Di daerah Cantung terdapat sebuah lesung batu
(yoni) yang menunjukkan adanya pengaruh agama Hindu memasuki wilayah ini
pada jaman dahulu kala. Sebelum terjadinya migrasi suku Bugis ke
wilayah ini, seluruh wilayah tenggara Kalimantan dibawah koordinator Aji
Tunggul, penguasa Paser yang menjadi bawahan Sultan Banjar IV
Mustain-Bilah/Marhum Panembahan. Pada abad ke-17 Sultan Banjar menguasai
Kalimantan Tenggara untuk diperintah keturunannya yaitu Pangeran Dipati
Tuha dengan nama Kerajaan Tanah Bumbu dengan wilayah awal mulanya
meliputi daerah dari Tanjung Silat]] sampai Tanjung Aru (batas wilayah Banjar dengan Paser). Sebelum berdirinya Kerajaan Tanah Bumbu pada pertengahan abad ke-17 (sebelum adanya Perjanjian Bungaya),
Sultan Makassar meminjam tanah Paser sebagai tempat berdagang kepada
Sultan Banjar IV Mustain Billah, sewaktu Kiai Martasura diutus ke
Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba
Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud, yaitu Sultan Tallo yang menjabat
mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654 maka
dipinjamkanlah Tanah Paser beserta wilayah timur dan tenggara Kalimantan
lainnya sebagai tempat berdagang bagi Kesultanan Makassar (Gowa-Tallo),
dengan demikian mulai berdatanganlah suku-suku dari Sulawesi dengan
bukti adanya makam Islam tertua dari seorang putri dari suku Mandar yang
bernama Nyai Galih.
- 1660-1700,
Orang Pamukan atau Suku Dayak Samihim dahulu telah memiliki kerajaan
sendiri yaitu Kerajaan Pamukan yang telah dihancurkan oleh suatu
serangan dari luar dengan bukti sisa-sisa pemukiman mereka terdapat di
Tanjung Kersik Itam. Setelah kejadian tersebut, orang Pamukan/Dayak
Samihim meminta kepada Sultan Banjar untuk mendirikan pemerintahan
(kerajaan) untuk mengamankan wilayah tersebut dan untuk mengantisipasi
banyaknya pendatang dari luar memasuki daerah tersebut maka Pangeran
Dipati Tuha (Raden Basus) putera Sultan Saidullah ditunjuk sebagai raja
membawahi wilayah antara Tanjung Silat sampai Tanjung Aru yang dinamakan
Kerajaan Tanah Bumbu dengan pusat pemerintahan di sungai Bumbu termasuk
dalam Daerah Aliran Sungai Sampanahan. Pangeran Dipati Tuha kemudian
digantikan puteranya Pangeran Mangu sebagai Raja Tanah Bumbu dan seorang
putera lainnya Pangeran Citra menjadi sultan negeri Kelua. Pangeran
Mangu (1700-1740) kemudian digantikan putrinya, yaitu Ratu Mas. Ratu Mas
(1740-1780) menikahi seorang pedagang dari Gowa bernama Daeng Malewa
yang bergelar Pangeran Dipati; pasangan ini beranak Ratu Intan I,
sedangkan dari selir Daeng Malewa berputra Pangeran Prabu dan Pangeran
Layah 1780,
Kerajaan Tanah Bumbu dipecah menjadi wilayah selatan di bawah
pemerintahan Ratu Intan I (keturunan Pangeran Dipati Tuha) yang dikenal
sebagai Ratu Cantung dan Batulicin dan wilayah utara yang berpusat di
Sampanahan di bawah pemerintahan Pangeran Prabu bergelar Sultan Sepuh.
Ratu Intan I menikahi Sultan Anom dari Paser tetapi perkawinan ini tidak
menghasilkan keturunan. Sedangkan Sultan Anom dengan selirnya memiliki
keturunan yaitu Pangeran Haji Muhammad/Maj Pangeran, Andin Kedot, Andin
Girok dan Andin Proah. Pangeran Layah menjadi penguasa Buntar Laut, ia
memiliki kerurunan Gusti Cita dan Gusti Tahora.
- 1789, kedaulatan atas daerah Pasir dan Pulau Laut diserahkan VOC kembali kepada Sultan Banjar, Tahmidullah II.
- 4 Mei 1826/(26
Ramadhan 1241 H), Sultan Banjar (Sultan Adam al-Watsiq Billah),
menyerahkan wilayah tenggara dan timur Kalimantan beserta daerah lainnya
kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
- 1844,
Kasus Sebuli – Batulicin yaitu perompakan yang menyebabkan pertikaian
Daeng Manggading yang dibantu Raja Pagatan dan Raja Sabamban dengan Aji
Pati (Raja Bangkalaan) yang dibantu Pangeran Meraja Nata penguasa
Batulicin, mengakibatkan rumah-rumah orang Bugis di Batulicin dibakar.
- Pada tahun 1844, distrik-distrik dalam onderafdeeling van Tanah
Boemboe yaitu Pagatan, Kusan, Batulicin, Cantung dengan Buntar Laut,
Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul dan Cengal. Pada waktu itu distrik
Pulau Laut belum dibentuk. Tahun 1845, Pulau Laut dan Batulicin berada
di bawah pemerintah Kusan.
Penguasa Kusan kemudian pindah ke pulau Laut, dan akhirnya divisi Kusan
digabung dengan Pagatan. Sabamban dibentuk belakangan. Wilayah
kabupaten Tanah Bumbu hari ini merupakan gabungan wilayah bekas distrik (swapraja) pada masa kolonial Hindia Belanda tersebut, yaitu Batoe Litjin, Koessan, Pagatan dan Sabamban, serta Distrik Satui (tahun 1889 Satui masih merupakan bagian dari Afdeeling Tanah Laut). Jadi Kerajaan Pagatan hanya salah satu dari banyak kerajaan yang ada di Tanah Bumbu maupun Kalimantan Tenggara.
- Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8
Sumber: wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar